Mangkunegaran adalah suatu dinasti yang berasal dari dinasti Mataram. Cikal bakal dari dinasti ini adalah Pangeran Sambernyawa yang bertahta sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.Istana Mangkunegaran sebagai tempat raja dan pusat pengendalian kekuasaan politik didirikan setelah ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga.
Posisi Mangkunegaran dalam sistem dan struktur politik Jawa menempati kedudukan yang istimewa karena berdirinya Mangkunegaran merupakan hasil perjuangan (Ricklefs,1991). Pangeran Sambernyawa sebagai cikal bakalnya telah memulai perjuangan sejak berumur 16 tahun ketika panggilan perjuangan memanggilnya. KeulunganMangkunegara I dalam kemiliteran sangat teruji ketika Mangkunegara I harus menghadapi 3 kekuatan gabungan yang terdiri dari pasukan pasukan; Belanda, Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi
Dalam kancah politik Jawa Istana Mangkunegaran dengan penguasanya Mangkunegara tampil dengan penguatan yang bersifat rasional. Dua penguasa Jawa lainnya di istana Surakarta dan Yogyakarta membangun kekuasaan untuk keagungan sebagai penguasa menempuh jalan penguatan simbolik simbolik sedangkan Mangkunegaran membangun kemegahan kekuasaan dengan jalan rasional dan aksi. Rasionalisasi kekuasaan ini tampak dalam masa pemerintahan Mangkunegara II yang melanjutkan pendahulunya Mangkunegara I.
Pembangunan rasional ditempuh untuk kepentingan dan kekuatan kerajaan sehingga kemakmuran yang dicapai bisa mengalir kebawah kepada kawulanya.Pembangunan militer yang kuat dan ekonomi beriring dengan karya karya sastera yang sampai sekarang tetap aktual dan menjadi rujukan bagi masyarakat Jawa.
Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh R.T. Mlayadipuro desa Laweyan (kini Kampoeng Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah Laweyan barulah berarti setelah Kyai Ageng Hanis bermukim di desa Laweyan. Pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati) dan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman). Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Sela yang merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga “manggala pinatuwaning nagara” Kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.
Setelah Kyai Ageng Henis meninggal dan dimakamkan di pasarean Laweyan (tempat tetirah Sunan Kalijaga sewaktu berkunjung di desa Laweyan), rumah tempat tinggal Kyai Ageng Henis ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Sewaktu Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) pada tahun 1568 M Sutowijoyo lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (Pasar Laweyan). Kemudian Sutowijaya pindah ke Mataram (Kota Gede) dan menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yang kemudian menurunkan raja – raja Mataram.
Masih menurut RT. Mlayadipuro Pasar Laweyan dulunya merupakan pasar Lawe (bahan baku tenun) yang sangat ramai. Bahan baku kapas pada saat itu banyak dihasilkan dari desa Pedan, Juwiring, dan Gawok yang masih termasuk daerah Kerajaan Pajang.
Adapun lokasi pasar Laweyan terdapat di desa Laweyan (sekarang terletak diantara kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur kampung Setono). Di selatan pasar Laweyan di tepi sungai Kabanaran terdapat sebuah bandar besar yaitu bandar Kabanaran. Melalui bandar dan sungai Kabanaran tersebut pasar Laweyan terhubung ke bandar besar Nusupan di tepi Sungai Bengawan Solo.
Pada jaman sebelum kemerdekaan kampung Laweyan pernah memegang peranan penting dalam kehidupan politik terutama pada masa pertumbuhan pergerakan nasional. Sekitar tahun 1911 Serikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Laweyan dengan Kyai Haji Samanhudi sebagai pendirinya. Dalam bidang ekonomi para saudagar batik Laweyan juga merupakan perintis pergerakan koperasi dengan didirikannya “Persatoean Peroesahaan Batik Boemi Putera Soerakarta” pada tahun 1935.
Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi SurakartaHadiningrat.
Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta. Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Solo. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X(Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Solo di kenal sebagai salah satu “gudang”-nya makanan enak. Berbagai makanan minuman maupun jajanan yang khas dapat di jumpai d solo. Anda akan dimanjakan oleh keanekaragaman makanan tradisional yang menyajikan cita rasa khas dan eksotis yang langka dijumpai di tempat lain, beberapa diantaranya adalah :
Pecel nDeso
Jl. Dr. Supomo 55 Pasar m’Beling Pecel nDeso adalah pecel yang berasal dari beras merah, dicampur sayur yang berisi dedaunan dan tanaman mulai dari jantung pisang, nikir, daun petai cina, bunga turi dan kacang panjang. Sambal wijen putih atau hitam. Disantap bersama belut goreng, wader pari goreng, telur ceplok, sosis solo, bongko(kacangmerah dan kelapa), gembrot(kelapa dan daun simbukan), otak dan iso goreng.
Warung Nasi liwet Wongso Lemu
Keprabon – Buka mulai jam 18.00 WIB
Nasi liwet adalah makanan khas Solo yang paling terkenal, makanan ini terdiri dari nasi gurih yang di campur dengan sayur labu siam yang di masak sedikit pedas, telur pindang rebus, daging ayam yang disuwir, kumut(kuah santan yang di kentalkan). Penyajiannya biasanya dengan daun pisang yang di pincuk.
Sate Buntel
Jl. Sutan Syahrir no. 39 Widuran. Sate buntel adalah sate kambing khas Solo yang terbuat dari daging kambing yang di cincang, kemudian di bakar dan di beri bumbu sate.
Timlo solo
Timur Pasar Gede–buka jam 07.00 WIB dan Jl.Urip sumoharjo–buka jam 09.00 – 21.00 WIB. Timlo Solo adalah hidangan berkuah bening yang berisi sosis ayam yang di potong-potong, telur ayam pindang dan irisan hati dan ampela ayam.
Cabuk Rambak
Makanan ini biasanya di jajakan keliling. Makanan ini terdiri dari ketupat atau sering di sebut gendar Janur dan Bumbu Cabuk Rambak memakai wijen yang di goreng bersama santan kelapa, cabai, bawang putih, kemiri, dan gula merah. Makanan ini di makan dengan Karak(sejenis kerupuk yang terbuat dari beras).
Tengkleng
Samping Gapura Pasar klewer – buka sejak pagi. Tengkleng merupakan makanan semacam gulai kambing tetapi kuahnya tidak memakai santan. Isi tengkleng adalah tulang-tulang kambing dengan sedikit daging yang menempel, bersama dengan sate usus, sate jeroan , dan otak.
Sate Kere
Warung Yu Rebi sebelah stadion Sriwedari Sate Kere ini unik karena menu utamanya adalah sate Tempe Gembus, yaitu tempe yang terbuat dari ampas kedelai sisa pembuatan tahu, selain itu juga ada sate jeroan sapi seperti paru, limpa, hati, iso, torpedo, ginjal, babat. Sebelum di bakar bahan makanan direndam dalam bumbu khas. Sedangkan penyajiannya menggunakan bumbu kacang.
Gudeg Ceker
Gudeg Ceker Bu kusno Jl. wolter Mongunsidi Margoyudan – Buka jam 02.00 pagi Ceker (Kaki ayam) ini adalah makanan pendamping yang dihidangkan bersama gudeg. Ceker di rebus bersama bumbu santan sehingga bisa lunak dan empuk. Dalam penyajiannya Gudeng ceker ini bersama dengan Sambal Goreng Krecek.
Wedangan
dapat di jumpai disetiap sudut kota Solo Wedangan merupakan salah satu tempat bersosialisasi masyarakat Solo. Biasanya disajiakan barang dagangan di atas gerobak atau meja yang unik menu yang ada antara lain nasi bungkus dan lauk pauk seperti tahu, tempe, sate usus, beraneka gorengan, dll. Pengunjung dapat dengan leluasa mengambil lauk sambil di temani dengan minuman teh hangat, kopi, atau wedang jahe.